Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Ilustrasi pelita dalam gelap.
Foto oleh Andrea de Santis via Pexel

Meniti hari-hari sebagai jiwa yang terlahir kembali... identitas yang terpahat baru... terkadang tak terbayangkan oleh orang lain. Aku memperkenalkan diriku sebagai pribadi yang telah melewati transformasi yang mendalam, meninggalkan bayang-bayang diri yang dulu dikenal mereka, namun meninggalkan kesan lama yang masih mengendap di benak mereka.

Ada saat-saat aku bersyukur, aku dilahirkan dengan memori yang semakin pudar, layaknya kaset CD usang yang kian memudar. Tidak ada citra yang kuat tentang diriku lima hingga sepuluh tahun lalu. Semua itu, seakan sirna begitu saja. Aku tak bisa mengingat perbuatan buruk yang pernah kulakukan di masa sekolah, bahkan kebaikan pun―sepertinya tak ada.

Dalam pusaran putus asa, depresi, dan keraguan yang melanda, aku merenungkan eksistensiku di dunia ini. Apa artinya hidup di sini? Apa tujuan sejati penciptaanku? Apakah aku memiliki nilai yang sebenarnya? Ke mana langkahku harus melangkah? Dan pertanyaan-pertanyaan tak berujung itu terus menghantui pikiranku.

Sejenak, aku melihat sekeliling. Apa sebenarnya yang mereka cari di dunia ini? Meskipun berhasil meraih emas dan perak, apakah mereka masih merasa kekurangan?

Hingga akhirnya, aku tersadar.

Kilauan logam mulia, tak lebih bersinar daripada pelita yang mengarahkan langkahku. Kejayaan duniawi tak sebanding dengan cahaya spiritual yang membimbingku menemukan arti sesungguhnya dari pencarianku akan terang.

Dan pada saat itu, aku mulai menerima kenyataan itu. Aku menggenggam pelita itu, sebagai bentuk kesepakatan dengan Yang Maha Kuasa untuk menemukan cahaya sejati.

Kini, aku hanya mengikuti cahaya yang menyala di sekitarku. Aku tak bisa lagi melihat dengan jelas jejak yang telah kulalui, pun tak bisa memprediksi jalan yang akan kutempuh di depan. Semuanya nampak samar. Namun, langkah demi langkah, aku terus maju berkat sinar yang terpancar dari pelita di depanku.

Lorong itu hanya selebar dua meter. Terkadang, aku menemui rintangan dan rintangan. Terkadang, bayangan-bayangan mencekam menghampiriku. Suaranya menusuk telingaku, dan keberadaannya mengganggu pikiranku―mungkin mereka akan menyerang dari belakang setelah aku menjelajah cukup jauh.

Aku hanya bisa bersyukur setiap langkah yang kutempuh. Aku bersyukur, kini aku memiliki cahaya yang menuntunku melalui kegelapan lorong waktu, yang dulu aku keluhkan karena tak berujung.

Aku bersyukur, dengan pelita ini, aku bisa melihat diriku yang sebenarnya, di mana aku berada sekarang, dan mengapa aku terjebak di lorong ini.

Aku bersyukur, yang kugenggam adalah pelita kecil, bukan lampu sorot, sehingga aku tak perlu terpaku pada kegelapan yang mengerikan. Aku tak bisa membayangkan hidup dengan kecemasan dan ketakutan karena pelita yang kugenggam ini membantuku, sambil mengingatkan bahwa kenyataan tak selalu secemerlang yang kita impikan.

"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku."

Mazmur 119:105 TB

Popular Posts

Thank you, 2021

Menerima kegagalan