Merdeka dalam Menggapai Mimpi

Nggak terasa, ya, kita udah di penghujung bulan Agustus. Minggu ini menjadi minggu penutup bulan Agustus yang penuh dengan kemerdekaan. Tapi, apakah kita sendiri sudah yakin kalau kita sebagai manusia juga telah merdeka?

Aku nggak yakin. Jika istilah merdeka yang digaungkan adalah soal membebaskan diri dari belenggu penjajah, nyatanya kita sendiri sebagai manusia masih sering membiarkan orang lain menguasai hidup kita. Mungkin memang orang tersebut tidak menyakiti secara fisik, tapi pernahkah kamu merasa terbebani dengan tuntutan yang ia berikan padamu? Jika jawabannya adalah iya, maka bagiku, kamu belum merdeka. Bagiku, merdeka adalah memiliki kontrol sepenuhnya atas hidup kita sendiri, berhak memilih, dan bersedia bertanggungjawab penuh atas setiap keputusan yang kita pilih. Kalau kamu nggak punya salah satunya, maka harus diakui bahwa kamu masih bersedia orang lain menjajah hidupmu.

Aku nggak bilang kalau aku sendiri sudah merdeka. Nyatanya, aku juga terkadang masih dihantui oleh bayangan masa laluku sendiri. Aku masih terbayang-bayang dengan kata orang yang begitu membekas dihatiku yang bahkan berhasil membuatku berhenti melangkah bebas. Walaupun kehadirannya sudah tidak lagi berada di dekatku, tapi aku masih merasakan pengaruhnya yang luar biasa.

Bagaimanapun, kita nggak boleh kalah dari penjajah-penjajah itu, 'kan? Kita harus memperjuangkan hak kita sendiri untuk hidup dan memilih jalan yang kita inginkan.

Di sini, aku mau cerita soal sensasi kemerdekaan yang aku yakini sebagai kemerdekaan sejati.

Baru-baru ini, aku memutuskan untuk ambil S1 lagi. Reaksi dari beberapa orang yang mendengar keputusanku ini adalah mereka kaget, sampai nggak segan bilang kalo ini adalah keputusan yang bodoh, hanya buang-buang waktu, uang, dan tenaga. Jujur, sebenarnya sebelum aku memutuskan untuk mendaftar kuliah lagi, aku merumuskan ulang timeline perjalanan karir dan studiku. Apa resiko dan keuntungannya. Dan beberapa rencana memang harus diubah total.

5 tahun dari sekarang, aku bakal jadi teknolog pendidikan. 

"Eh, nggak usah sok, deh, mau jadi teknolog pendidikan. Padahal, beberapa bulan yang lalu bilang mau jadi penulis, lah, ini lah, itu lah. Keinginanmu banyak banget, deh!"

Iya, betul, memang banyak banget hal yang pengen aku lakukan. Aku mau jadi penulis (dan blogger)... tapi setelah aku jalani dan coba menulis secara terjadwal, aku sadar energiku nggak setinggi itu buat konsisten menulis. Aku sadar, kalo aku lebih menyukai tulisanku yang seperti ini dibandingkan dengan menulis secara terjadwal dan kaku. Aku lebih suka membangun blogku seperti ini yang apa adanya. Nggak perlu overthinking mikirin apa yang mau aku tulis, jadi bisa leluasa menuangkan pikiranku.

Lalu, apakah aku bener-bener salah kalau aku mau mengganti cita-cita dan impianku itu? Bukan mengganti, sih, tapi lebih tepatnya mencoba hal baru. Aku lagi mau mengasah kemampuanku dengan belajar lagi di S1, dan memperoleh ilmu menjadi seorang teknolog pendidikan di sana.

Aku nggak mau sok kuat, sebenernya aku juga kepikiran apa kata orang lain. Tapi, yaaa, aku belajar buat nggak peduli gimana orang lain bakal menilai aku. Entah mereka bilang aku orang yang nggak konsistenlah atau apalah. Yang terpenting di sini adalah apa tujuan hidupku dan bagaimana aku bisa mewujudkannya.

Mengutip dari kata-kata Raditya Dika, profesi hanya sebagai alat untukmu mencapai tujuan hidup. Jadi artinya, entah aku nanti jadi penulis atau teknolog pendidikan, selama aku bisa memenuhi tujuan hidupku, ya ga masalah.

Dan juga, nggak serta merta mengalihkan pandanganku dari menulis menjadi teknolog pendidikan. Aku suka menulis, tapi aku juga pengin nyoba buat bisa merancang pembelajaran. Siapa tau, di masa depan, justru aku bisa menjalani kedua-duanya, 'kan?

Yang penting, profesi itu bisa mewujudkan tujuan hidup kita masing-masing.

Semisal, kalau tujuan hidupmu adalah membuat orang lain agar lebih aware soal mental mereka. Nah, cara apa yang bisa kita lakuin? Ya mungkin bisa jadi penulis blog yang bahas tentang pentingnya kesehatan mental. Otomatis biar bisa kita sukses di sana, kita jadi harus belajar buat nyoba riset materi  tulisan yang temanya kesehatan mental. Biasanya info-info apa, sih, yang banyak dicari sama orang. Nyoba nyari audiensnya. Nyoba bikin jadwal teratur buat nulisnya. 

Atau, mungkin, jadi seorang mentor. Jadi kamu bisa nyoba buat ambil sertifikasi buat jadi mentor. Belajar gimana caranya menangani konselor. Belajar teori-teorinya. Atau kalau mau ambil studi lagi, ya silahkan.

Biar bisa tau hasil akhirnya, yang emang harus dicoba. Kalaupun gagal dan nggak berhasil, ya nggak apa-apa. Nggak usah mengutuki diri sendiri sama kata-kata yang macem-macem. Dan nggak perlu menyesal karena sudah mencoba. Toh, kita jadi bisa belajar, kan?

Di medan perang, kita punya kesempatan 50% menang dan 50% kalah. Tapi, kalau kita mundur sebelum perang, maka hasilnya sudah pasti 100% kalah.



Bagiku, inilah kemerdekaan. Punya kebebasan dalam mencoba hal yang pengin kamu lakuin, dan kamu menikmati perjalanan itu. Kamu nggak lagi mengeluh karena memang kamu pikir buar nggak perlu ngeluh, karena kamu paham ini adalah tanggung jawabmu. 

Dan kamu juga bisa menikmati setiap rintangan yang datang di tengah perjalananmu. Sebagai gantinya, kamu percaya, kalau rintangan itulah yang justru akan membantumu untuk menjadi lebih tangguh.


Nah, kalo kamu sendiri, hal apa yang lagi pengin kamu coba?

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan