Cinta, bagaimana seharusnya?

Sudah dua jam kami tidak berbicara sejak telepon pertama kali tersambung. Rasanya sangat melelahkan harus menghadapi sebuah perselisihan di tengah malam Minggu seperti ini.

Aku yang terlalu rindu memutuskan untuk menelepon Ardi. Namun sayangnya, rasa rinduku berakhir dengan rasa kecewa, sakit, dan marah setelah aku mengetahui bahwa ternyata kami berdua memiliki pandangan yang berbeda soal hubungan ini. Aku merasa, kami masih belum cukup siap untuk menjalani hubungan yang lebih serius. Aku kecewa, karena harapan yang aku taruh begitu tinggi kepada Ardi, tak sampai kepadanya.

“Bukannya aku ngga mau nikah sama kamu, tapi aku rasa lebih baik kita ngejalanin hubungan ini pelan-pelan aja, ya,” Ardi mulai kembali membuka suara. Hanya dengan mendengar suaranya saja, aku seperti bisa melihat ekspresinya dari dekat. Matanya lesu dan alisnya sedikit terangkat. Mimik wajahnya penuh harap sambil dibumbui sedikit rasa putus asa.

“Pelan-pelan gimana, Ardi? Kita udah ngejalanin hubungan ini selama 5 tahun. Bolak-balik kita harus LDR, dan aku terima-terima aja, kan?” Nadaku sedikit meninggi. Maaf, Ardi, aku cuma pengin lihat seberapa jauh kamu berjuang buat aku. Kataku dalam hati. “Aku ngga bisa diginiin terus. Sebagai cewek, aku butuh kepastian dari kamu.”

Entah, apakah ini salahku yang terlalu memburu narasi pernikahan yang selama ini aku impikan, atau aku yang terlebih dahulu telah disadarkan tentang sinyal-sinyal ketidakcocokan di antara kami berdua.

***

Aku dan Ardi sudah berpacaran semenjak aku lulus kuliah 5 tahun yang lalu. Saat itu, Ardi sudah bekerja. Pekerjaannya mengharuskannya untuk berpindah-pindah kota, dan waktu yang harus ia habiskan juga tidak sebentar, menurutku. Pernah suatu saat, tiba-tiba Ardi ditugaskan untuk pergi ke Yogyakarta selama 6 bulan. Aku yang saat itu belum terbiasa dengan pekerjaan Ardi hanya bisa merengek dan memohon dengan penuh harap agar ia bisa memperpendek masa pindahtugasnya menjadi satu minggu. Jelas itu mustahil, namun ia berjanji bahwa dia akan membuat jadwal rutin agar kami berdua bisa tetap berkomunikasi. Setidaknya, janjinya itu yang membuatku menjadi sedikit tenang dan akhirnya perlahan mulai terbiasa dengan ketiadaannya. Walaupun begitu, perlahan aku juga merasakan ada jarak di antara hubungan kami berdua. Dan ketahuilah, perasaan ini justru lebih membuatku tidak nyaman dibandingkan perasaan apapun di dunia ini.

Kalaupun memang kami berdua siap buat melanjutkan ke arah yang lebih serius, aku pikir itu akan memakan waktu yang lumayan panjang. Aku harus siap meluangkan waktu untuk ngerasain asam-manisnya perjalanan cinta ini. Aku harus siap kalau-kalau aku harus berhadapan dengan rasa sakit yang bisa aja rasanya jadi dua kali lipat, apalagi waktu aku lagi PMS. Aku harus siap berhadapan sama dua jiwa yang sangat susah ditebak: aku dan dia. Dua jiwa abstrak yang sama-sama minta didahulukan. Rasanya, aku seperti dihadapkan pada dua pilihan: haruskah aku menyelesaikan urusan hati, mentalku, memperbaiki diri, dan membentuk prinsip yang kuat terlebih dahulu walaupun risikonya jelas, itu akan memakan waktu yang cukup lama sampai aku benar-benar siap untuk membuka diri dengan orang lain. Atau justru aku harus bersabar dengan keadaan, perlahan menjalani cinta sembari memperbaiki diri dengan risiko aku harus siap untuk menghadapi rasa sakit secara tiba-tiba.

***

Aku sadar, aku masih anak usia 20-an awal yang sangat egois. Yang kalau lagi ngelakuin sesuatu maunya yang menguntungkan diri sendiri. Yang masih belum sadar tentang berharganya hubungan dengan orang lain. Yang belum sadar arah hidupnya mau kemana. Yang belum berani menentukan satu hal pasti yang mau dikejar dan dikerjakan.

Dan, perasaan gundah dan bimbang ini benar-benar memuakkan. Benar-benar membuatku ngga tenang dan ngga nyaman. Rasanya, pengin banget buat ngga peduli lagi, dengan siapapun orang yang nantinya akan menjadi pasangan hidupku. Saat ini aku ingin menjalani hidup seorang diri dan asyik tenggelam ke dalam duniaku sendiri, tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada drama perasaan, drama percintaan. Sakit hati, dan sebagainya.

Muak… tapi aku perlu cinta, untuk hidupku yang sangat kekurangan cinta.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan