Kebiasaan berpikir

Di sini, aku mau sedikit berbagi hal yang baru aku pelajari tentang mengembangkan kebiasaan baru yang dikutip dari buku The Answer karya Allan & Barbara Pease. Buku ini adalah buku yang paling aku suka, karena di dalamnya ada banyak tips-tips berguna yang ngebantu aku banget buat mencapai cita-cita dan tujuanku.

Nah, salah satu bagian di dalam buku ini adalah tentang mengembangkan kebiasaan baru. Siapa, sih, yang ngga mau perubahan? Apalagi, kalo perubahan itu adalah perubahan yang positif. Masalahnya, banyak orang yang pengin perubahan itu terjadi, tapi orangnya sendiri ngga mau berubah. Mereka enggan berubah karena mungkin, mereka ngga nyaman kalo harus berubah, atau sesimpel mereka ngga ngerti alasan kenapa kita harus berubah.

Emangnya, kita yang sekarang ini ngga cukup?

Bukan soal cukup atau nggak-nya, tapi kadang, tuh, kita ngga tau, kalo sebenarnya kita yang sekarang ini dibentuk dari lingkungan sekitar kita, lingkungan di mana kita bertumbuh. Waktu kecil, kita dikelilingi sama banyak banget orang yang punya pandangan berbeda-beda. Orang tua, guru, media di televisi, temen, saudara, dan bahkan masyarakat di lingkungan tempat kita tinggal. Secara ngga sadar, mereka semua menyumbangkan pemikiran-pemikiran mereka ke kita.

Orang tua kita bilang,

"Anak itu harus nurut sama apa kata orang tua!"

Sedangkan guru kita bilang, 

"Jangan bicara sebelum guru ngajak bicara duluan. "

Atau, temen kita bilang,

"Ngapain resign dari kerjaan yang jelas-jelas masa depan kita terjamin?"

Dan, tetangga-tetangga kita bilang,

"Mending nyicil rumah mumpung masih muda, terus nabung buat masa tua."

Nah, kata-kata di atas tadi pasti salah satunya pernah kita denger. Dan, tau, nggak, pola apa yang bisa kita liat dari kata-kata tersebut? Adalah kita dikasih tau tentang apa yang nggak bisa kita lakukan, bukan apa yang bisa kita capai. Kita kebanyakan denger kata, “kamu harus ini, mending lakuin ini, dan ngga boleh ini” daripada “kamu bisa lakuin ini, Karena potensimu ini, dan kamu pasti bisa lakuin ini”. Akibatnya, kita jadi fokus sama apa yang ngga kita bisa daripada sama apa yang bisa kita maksimalin di dalam diri kita.

Nah, terus, gimana, nih, caranya kita buat ngerubah itu semua? Gimana caranya kita menyadari kalo kita, tuh, bisa dan mampu? Gimana caranya kita memaksimalin apa yang kita punya saat ini biar kita bisa mencapai apa yang kita inginkan dalam hidup kita?

Caranya, adalah dengan mengganti kebiasaan berpikir kita.

Atau, kalo di buku ini, kebiasaan berpikir itu artinya “sikap”.

Contohnya, si A dan B lagi jalan berdua, terus tiba-tiba ngeliat ada biawak lewat di depan mereka. Si B bilang, kalo biawak itu serem banget dan keliatan menjijikkan. Nah, terus, si A ngasih tau ke sih B kalo di lingkungan tempat dia tinggal, ada beberapa orang yang malah memburu biawak dan ngejadiin biawak itu makanan. Dan si B bilang, kalo dia ngga bisa ngebayangin itu dan cuma bisa bergidik ngeri, bahkan mual ngedengernya.

Dari contoh tadi, bisa dilihat kalo si B sebelumnya udah ada image yang buruk soal biawak. Dia berpikir kalo biawak itu punya kesan yang nakutin, hidup di gorong-gorong air yang mungkin kotor, dan karena biawak juga makan daging hewan lain, misalnya tikus, dia jadi beranggapan kalo kalo biawak justru adalah hewan berbahaya yang mungkin bisa menimbulkan penyakit kalo sampe dimakan oleh manusia. Nah, beda sama mereka yang udah biasa makan biawak, yang cenderung berpikir lebih positif tentang biawak. Kalo kita mikir rasa daging yang empuk dan enak, dan ngelupain gimana cara biawak hidup dan diolah sebelum dikonsumsi oleh manusia, mungkin aja si B, atau kita yang berpikir sama kayak si B, juga bisa makan biawak dengan tenang dan ngga khawatir apapun, justru malah menikmati.

Menurut buku ini,

Kita ngga bisa berkembang sebelum kita bisa mengganti cara berpikir kita ke cara yang positif.

Karena dalam mencapai apapun, kita perlu ngemasukin gambaran positif dari apa yang kita mau ke dalam pikiran kita sebelum bertindak. Tapi, buku ini juga bilang, kalo kebanyakan dari kita susah buat ngubah cara pikir negatif ini, karena kita biasanya lebih fokus sama tindakan kita.

Misalnya aja dari contoh tadi, kita bisa-bisa aja makan biawak pake sendok biar kita ngga ngerasa terlalu jijik waktu nyentuh daging biawak dan memakannya, tapi sebenernya, kita ngga akan perna bisa bener-bener nikmatin makan makanan itu sebelum kita ganti pemikiran kita tentang positifnya biawak, misalnya kandungan gizi yang lebih besar dari daging-daging lainnya mungkin, atau khasiat yang lebih tinggi dan rasa yang lebih enak dari daging lainnya.

Karena kayaknya udah kepanjangan banget, jadi bakal bersambung di tulisan berikutnya, ya.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan