Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Keputusan: take it or leave it

Dalam 24 jam sehari, rasanya ngga ada detik-detik yang kita lewati tanpa sebuah keputusan. Mulai dari siang ini mau makan apa, sampai keputusan-keputusan besar yang menuntun kita mencapai suatu tujuan. Bahkan, setelah keputusan itu dibuat, masih harus membuat satu keputusan lagi, yaitu 'mulai' atau 'tunda'.  Mulai, artinya kita siap akan segala konsekuensi dan rintangan di depan. Tidak ada keraguan. Kalaupun ada, dengan mudah bisa diatasi―atau minimal sudah ada skenario yang disiapkan. Sebaliknya, ragu menandakan bahwa masih ada banyak pertanyaan yang muncul dan belum terjawab. Belum ada rencana pasti, atau sekedar tiadanya kesiapan diri. Take it or leave it . Sebuah frasa beda bahasa namun bermakna sama. Kalau berani ambil resiko, lakukan. Tapi, kalau ragu, tinggalkan. Sebuah keputusan pada umumnya tidak bisa dilakukan dalam semalaman, setidaknya menurutku sendiri. Kalaupun bisa, setelah sebuah keputusan diambil akan ada banyak pertanyaan yang mengiringi. Secara pribad

Bahagia dari mana datangnya?

Kemarin, sebelum tidur, sempat ditanya tentang "3 hal yang membuatmu bahagia hari ini". Otomatis, aku langsung track back aktivitas seharian yang aku lakuin dan coba inget-inget hal-hal yang bikin perasaanku seneng, atau minimal yang bikin senyum itu apa. Dalam sehari, aku cuma inget kalo di hari itu cuma ada 1 orang stranger yang ternyata sadar kalo aku udah pindah rumah. Padahal, aku pikir, ya, ngga akan ada yang tahu kalo ngga aku sendiri yang bilang. Agak creepy , sih, ya... tapi entah, kemarin itu adalah hal yang membuatku bahagia, karena ternyata aku bisa diingat oleh orang lain. Sejujurnya, waktu itu juga aku ngga merasa bahagia-bahagia banget. Dan, benar... ternyata itu bukan bahagia yang sesungguhnya. Jawaban dari pertanyaan di awal tadi, sebenarnya sederhana. Dengan menyadari hal-hal sekitar, berterima kasih kepada diri sendiri maupun orang lain saja   itu sudah cukup. Sepele, kan? Tapi, kenapa bisa? Itu ada hubungannya dengan manusia itu sendiri, yaitu hormon keba

Pesan

Ini sepele, tapi buatku hal ini adalah hal yang bisa kita lihat untuk menilai karakter seseorang. Teks pesan. Pagi ini--bukan, sebenarnya sudah berawal dari 2 hari yang lalu, saat siang hari--ada sebuah chat masuk ke WhatsApp yang diawali dengan pertanyaan: "Mba, sibuk ga?" Besoknya aku baru membalas balik, bilang seadanya kalau akhir-akhir ini sibuk karena skripsi. Terus, aku tanya ada apa. Dan, chat berlanjut kira-kira seperti ini. "Aku mau tanya," "Mau tanya apa?" "Cara membuat portfolio wkwk," -- ketawa dalam bahasa tulisan. "Yang mau kamu tanyakan di bagian mananya?" "Apa aja yang perlu dimasukkan ke dalam portfolio? wkwk" -- masih ketawa dalam bahasa tulisan. "Ya terserah kamu." "Bingung." Dan berakhir dengan membiarkannya tanpa balasan. Mungkin kelihatannya ini seperti chat biasa, sebuah tanya-jawab yang lumrah diterima orang-orang. Tapi, ada beberapa hal yang mau aku coba bedah di sini. Hal yang

Daring

Daring, adalah kata bahasa Indonesia dari online, yang berarti dalam jaringan, terhubung melalui jejaring komputer, internet, dan sebagainya (KBBI). Pada masa pandemi seperti saat ini, semua kegiatan, baik yang berhubungan dengan akademisi, pekerjaan, bahkan pertemuan-pertemuan hampir 90% dilakukan secara daring, melalui internet. Aku sadar betul, bagaimana teknologi daring ini mengubah hampir 180 derajat kehidupan manusia, terutama bagi masyarakat Indonesia. Pertama, akhir-akhir ini mulai banyak UMKM baru yang lahir pada saat keadaan krisis pandemi. Mereka mamnfaatkan teknologi daring untuk memulai sebuah usaha, promosi, dan menghasilkan uang. Aku yakin, ini memang tidak mudah. Aku melihat beberapa tahun belakangan, masyarakat Indonesia banyak yang masih mengandalkan tenaga konvensional, menyiapkan segala sesuatunya secara manual, bahkan dalam teknik promosinya pun masih menggunakan brosur dan media cetak lainnya. Saat ini, semuanya sudah tergantikan. Bagiku sendiri, ini merupakan seb

Harapan

Pernahkah kita berpikir sejenak, mengapa kita masih bisa bertahan hingga saat ini? Apakah itu karena makanan yang kita makan sehari-hari? Atau rasa haus akan kebutuhan sosial manusia, yang akhirnya memaksa kita untuk terus hidup hingga detik ini. Pernahkah kita bertanya, siapa sosok yang paling berpengaruh di dalam hidup kita? Apakah itu orang tua kita, saudara, guru, teman, atau... pasangan? Siapapun itu... dia lah alasan kita untuk dapat bertahan hingga sejauh ini. Tapi, bagiku, semua hal itu ada berada di urutan nomor dua. Sebisa mungkin, aku selalu ingin menempatkan diriku sendiri, jiwa ini, yang sudah melekat selama 21 tahun di dalam raga ini untuk selalu menjadi prioritas dan alasan mengapa hingga saat ini aku masih hidup dan bertahan. Segala kesulitan dan rintangan yang berhasil kami―raga dan jiwa ini―lalui bersama... tentu dengan dukungan beberapa pihak yang kadangkala menyertai. Sudah 21 tahun, kami bersama menapaki setiap jalan yang samar-samar terlihat oleh mata, kadang tert

Sisi dua

Manusia dibekali 2 bagian otak, otak kiri dan kanan. Semuanya benar, tidak ada yang salah. Mereka bekerja sesuai porsinya. Mereka tidak bisa dipaksa untuk bertukar posisi, tapi salah satunya bisa menunjukkan dominasinya. Manusia memiliki dua sisi anggota tubuh; mata kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri, dan sebagainya. Katanya, mereka bisa melihat karakter orang dengan mudah hanya dengan melalui dominasi anggota tubuhnya―kiri atau kanan. Tidak ada yang buruk, semuanya baik, tujuannya diciptakan kanan dan kiri adalah untuk saling membantu. Lantas, kenapa ada istilah "makan dengan tangan kiri lebih buruk", apakah karena penggunannya yang berbeda? Oh... iya, mereka punya porsi sendiri yang tidak bisa ditukar. Aku mengerti. Sama dengan kodratnya manusia yang diberi dua sisi anggota tubuh―kiri atau kanan. Manusia juga dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat luas, dengan hasil dari panjang dikali lebar (matematika). Pilihannya adalah benar atau salah...

Satu minggu negatif

Akhir-akhir ini aku merasa aneh lagi... aku benci saat diriku tiba-tiba merasa sangat buruk dan tidak berguna. Sudah kesekian kalinya, dan sesi ini pertama kalinya pada tahun ini.  Mungkin ini karena interaksi yang sudah terjadi, orang-orang yang menaruh harapan tinggi kepadaku dan aku merasa ingin selalu menyerah. Apa penyebabnya... mungkin semuanya kesalahanku. Kenapa... aku tidak tahu. Aku ingin hidup tanpa tuntutan. Tapi, aku takut jika ini hanya ilusi yang akhirnya menjerumuskan. Apakah aku egois? Egois kata yang terdengar buruk, tapi manusia pasti memilikinya sebagai cara hidup mereka bertahan. Aku ingin hidup dengan perasaan tanpa ego jika bisa. Aku ingin hanya memiliki perasaan empati dan selalu membantu orang lain. Aku ingin menghilangkan rasa bersalah dan tidak berguna. Tapi..., nyatanya tidak bisa. Aku tetap memiliki ego yang mengharuskan untuk mengurus diri sendiri di samping peduli dengan orang lain.  Menjadi manusia itu rumit.  Kadang, aku dengan sangat menyesal menyadari

2021

Sudah hampir satu tahun semenjak kehadiran pandemi di Indonesia, yang membuat jarak dan batasan antar manusia berikut kegiatannya. Pandemi sudah mengubah banyak hal di dalam hidupku. Tidak hanya hal-hal yang bersifat materiil, namun juga hal-hal esensial, dan pola pikir. Pandemi mengajarkanku untuk menghargai betapa pentingnya interaksi, kebersamaan, dan segala sesuatu yang aku miliki yang mungkin dulu tidak aku sadari. Pandemi juga merubah pandanganku terhadap diriku sendiri. Mulanya, aku sering mempertanyakan hal-hal yang ada di luar kendaliku, berusaha mengontrol semuanya agar sesuai dengan rencana yang aku buat. Aku tidak mentolerir kesalahan, dan jikapun itu terjadi, aku akan dengan sangat keras menyalahkan dan menghukum diri sendiri atas itu; bahwa kepayahanku tidak bisa menjaganya agar sesuai yang direncanakan. Dulu, aku memandang dunia sebagai tempat yang tidak pernah istirahat, segala sesuatu di dalamnya bergerak dengan sangat cepat, tidak ada ruang bagi mereka yang lambat. Ak