Memulai pembicaraan

Setelah sekian lama terkungkung dalam rasa takut, akhirnya aku mencobanya lagi.

Kali ini, subjeknya adalah tetangga kos sendiri yang sedikitnya sudah aku tahu informasinya dari pihak staf penjaga kos.

Aku baru pindah ke kos baru dan mendengar bahwa ada satu orang Jepang yang juga tinggal di lantai yang sama. Dia adalah peselancar. Aku penasaran, karena kata mereka, orang ini sudah tinggal selama bertahun-tahun di tempat ini bersama istri orang Indonesia.

Namun, selama pindahan ke tempat baru pertengahan bulan Februari lalu, kami sama sekali tidak pernah bertemu. Bahkan, di akhir bulan Februari pun, saat aku pindah kamar yang jarak antara kamar kami bahkan tidak sampai 2 meter, bertemu walau hanya sekedar sekilas saja rasanya tetap mustahil. Memang, aku masih penghuni baru di tempat ini, kurang lebih baru 2 minggu. Wajar saja jika pertemuan tidak bisa diciptakan secepat itu.

Siang hari, secara tidak sengaja kami bertemu di basemen. Dia dengan posisinya baru saja keluar dari lift dan membawa papan selancar. Pasti orang ini.

"Sumimasen, Nihon-jin desu ka?" (Maaf, apakah kamu orang Jepang?)

"Hai!" (Ya!)

"Ah, watashitachi wa kinjou ni natta!" (Kita tetanggaan!)

"Ee-, boku wa mou dete iku!" (Eh, saya sudah pindah sekarang!)

Ya, ternyata ini adalah kesempatan terakhir kami berbicara, karena ia dan istrinya sudah akan segera pindah kos mulai hari ini.

Sebenarnya, kalimat pernyataan pertama tadi terdengar sangat aneh jika dalam situasi percakapan bahasa Jepang. Bahkan pacarku pun tertawa saat aku mempraktekkan percakapan ini. Padahal, di Indonesia, mengungkapkan hal seperti itu terasa wajar saja.

Singkatnya, dengan semangat aku bercerita lumayan banyak (tentunya dengan seluruh rasa gugup yang merayap di pundak dan kemampuan bahasa Jepang yang pas-pasan) tentang kepindahanku di kos ini. Alasanku ingin membuka percakapan dengan orang ini adalah karena dia berasal dari negara yang sama dengan pacarku yang sama-sama orang Jepang, dan sekaligus ingin menguji keberanian untuk mempraktekkan bahasa Jepang lisan secara spontan. 

Dia tidak banyak bertanya, hanya aku yang semangat bercerita dengan reaksinya yang kadang-kadang tertawa kecil (dan mungkin juga kebingungan).

Pada akhirnya, dia bertanya apakah aku orang Jawa dan apakah aku tidak menikah? Semua aku jawab dengan tegas, khususnya untuk pertanyaan terakhir dengan imbuhan tertawa malu. Dan kemudian percakapan kami berakhir.

Setelah percobaan ini, aku merasakan perasaan yang bercampur aduk. Muncul banyak sekali ketakutan dan perasaan lain yang sangat susah dijelaskan.

Apakah aku sudah menanyakan pertanyaan yang tepat?

Apakah pertanyaanku ada yang menyinggung dirinya?

Apa yang dia pikirkan tentang aku saat aku mulai bicara?

Apakah tadi aku terlihat aneh?

Dan segudang pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Kalau-kalau aku bisa mendengar apa yang dipikirkan orang itu tentang aku, 80% aku yakin "Orang ini aneh banget" adalah kalimat pertama yang akan muncul. Jika benar, ingin rasanya tiba-tiba menghilang dari muka bumi saat itu juga.

Itu bagus! Kejadian tadi bisa menjadi pengalaman berhargamu. Kata-kata dari pacarku ini mendadak meneduhkan hati yang sedang berapi-api termakan rasa malu dan tidak aman. Aku terus mendengarkannya sambil perlahan berpikir sisi positifnya.

Beruntung sekali rasanya, pada detik-detik perpisahanku dengan tetangga orang Jepang itu, aku telah memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu dan membuka kesempatan untuk menciptakan obrolan. Bayangkan saja jika waktu itu aku tetap berlalu dan membiarkannya pergi begitu saja, mungkin cerita ini tidak akan pernah ada.

Ternyata, aku bisa menjadi Anisa yang pemberani untuk menyapa orang asing, bahkan membuat percakapan sederhana dalam bahasa asing yang walaupun diucap dengan terbata-bata. Ya, ini adalah sebuah pujian yang aku buat untuk diri sendiri.

Sejenak, aku membayangkan diriku sendiri yang mampu berdiri dan berbicara di depan banyak orang sambil bercerita dan mengatakan hal-hal yang dapat menginspirasi mereka. Ah, betapa hebatnya jika hal itu bisa tercapai suatu saat.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan