Mimpi dan trauma

Malam ini, aku terbangun oleh mimpi yang rasanya dapat terlihat secara nyata. Di dalam mimpi itu rasanya aku bisa meluapkan segala emosi yang selama ini tidak bisa aku ungkapkan kepada siapapun. Hingga akhirnya terbentuk sebuah jalan cerita yang seolah nyata, sebagai akibat dari aksi yang rasanya memang tidak akan pernah terwujud di dunia nyata.

Di dalam mimpi itu, aku bertemu dengan anggota keluargaku yang sudah lama sekali kami tidak saling bertemu. Terlihat baik-baik saja, tanpa masalah. Namun, hal yang menarik di sini adalah... aku bertemu dengan ayahku lagi, dengan kondisi beliau yang berbeda. Kami bertemu di sebuah rumah... yang terlihat seperti rumah masa kecilku di mana hampir semua pengalaman traumatis terjadi. Ajaib, ya? Walaupun akhir-akhir ini saat di dunia nyata aku sama sekali tidak memikirkannya, tiba-tiba gambar itu muncul secara jelas di dalam mimpi. Apa artinya ini...?

Di sana, ayahku terbangun dari tidur di sebuah kamar bersama istrinya. Dia bukanlah orang yang melahirkanku, namun dia adalah sosok yang juga berkontribusi dalam menciptakan pengalaman trauma di kepalaku. Pada saat itu, aku tidak bereaksi apapun. Tidak berkomentar apapun tentang kehadirannya di rumah ini, yang anehnya rumah itu terasa seperti rumah milikku sendiri. Lalu, perlahan ayahku datang menghampiri dan bertanya, "Sebenarnya, apa yang membuatmu menjauh dariku? Apa yang membuatmu pergi dari rumah meninggalkan kami?" Di saat itu, aku terdiam sebentar sambil sedikit berpikir, apakah engkau tidak menyadarinya, Ayah?

"Aku pikir itu karena aku tidak bisa menerima perlakuan kalian, semua perlakuan yang aku terima saat aku masih tinggal bersama kalian di rumah ini. Aku merasa kalian menganggapku sangat aneh," Sebelum aku melanjutkan, aku sudah sedikit naik pitam. Rasanya, aku akan meledakkan semua pergumulan yang selama ini aku pendam.

"Contohnya?"

"Saat aku harus meminta maaf pada hal-hal yang aku sendiri merasa tidak ada yang salah. Ingat, kah engkau, saat itu aku masih usia remaja? Usia yang seharusnya didukung karena pada masa itu anak sangat ingin merasakan berbagai pengalaman baru di dalam hidupnya. Namun, engkau menilai semua apa yang aku lakukan adalah salah karena berbeda dengan apa yang engkau ingini dan aku harus meminta maaf untuk itu. Kenapa...?" Aku mulai emosional. "Lalu, istrimu... ia mendahulukan amarahnya daripada nasihatnya, yang membuat Anisa kecil merasa ia adalah orang yang serba salah. Saat aku tinggal dengan kalian untuk yang kedua kalinya pun, kalian juga menuduhku dengan hal terbodoh dan paling tidak bisa aku terima karena itu terlalu menyakitkan. Kalian menuduhku mencuri uang dari saudaraku sendiri. Untuk apa...? Apakah kalian lebih mempercayai perkataan sosok tak kasat mata yang kalian anggap 'teman' itu daripada manusia yang jelas-jelas anakmu ini? Bahkan, aku pun jarang sekali meminta uang tambahan kepada kalian saat aku kesusahan. Menurutku, itu adalah tuduhan tak berdasar yang sangat bodoh. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan hal keji itu. Dan jikalaupun aku ingin mencuri, lebih baik aku mencuri uangmu jika aku benar-benar membutuhkannya." Pada titik ini, aku sangat emosi.

Hal yang semakin membuatku tidak dapat menahan rasa emosi ini adalah reaksi dari ayahku yang terlihat sangat biasa saja. Aku tidak melihat rasa penyesalan di dalam raut wajahnya. Bahkan, matanya pun sama sekali tidak menatapku. Namun, saat itu aku tidak bisa berkata-kata lagi selain berharap agar dia dapat memahami perasaanku.

"Kejam, ya...." Jawabnya. Dan aku terbangun.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan