Tantangan Menjadi Diri Sendiri

Loh, kok tantangan, sih? Jadi diri sendiri, kan, gampang.

Eiiits, tidak semudah itu, ferguso. Memangnya, kamu yakin, kamu yang sekarang adalah kamu yang sebenar-benarnya?

Iya, baru-baru ini, aku kepikiran buat nanyain ke diri sendiri soal ini: "aku ini sebenernya siapa, sih?" 

Belakangan, Anisa lagi menghilang digantikan dengan Anisa yang lain, yang sibuk galau, overthinking, bingung sama masa depan, dan bingung sama jati diri sendiri.

Masalah ini, tuh, kayaknya sepele. Tapi, bisa menyesatkan.

Emangnya, siapa, sih, orang di dunia ini yang ga butuh pengakuan dari orang lain? Siapa orang yang nggak butuh validasi atas pancapaian yang sudah mereka lakukan ke orang lain? Ya mungkin ada, sih. Tapi aku yakin, sebagian besar dari manusia di bumi pasti butuh yang namanya pengakuan dan validasi.

Contoh simpelnya, dengan bikin status kalo lagi belajar, berharap kalo orang-orang sekitar yang ngelihat status kita, tuh, mikir kalo "wah ini anak rajin bener". Atau, waktu kita lagi nongkrong sama temen, bikin status buat ngebuktiin kalo kita juga bisa jadi anak tongkrongan. Makan makanan enak, tempat bagus, foto-foto cantik ala OOTD gen Z.

Itu semua wajar, sama sekali nggak salah. Toh, namanya juga manusia.

Ada yang namanya fungsi sosial dalam Ilmu Komunikasi yang salah satu tujuannya adalah buat nunjukkin eksistensi diri kita ke orang lain. Salah satu caranya yang paling gampang di zaman sekarang adalah dengan memanfaatkan fitur status atau story tersebut.

Tapi... pernah, nggak, kita berdiam diri sejenak dan nanya ke diri sendiri, apakah kita masih berada di batas aman? Maksudnya, kalo kita masih di batas aman, kita masih merasa punya kontrol besar terhadap apa yang kita posting dan kita bagikan di sosmed berdasarkan desire atau keinginan kita sendiri.

Gimana jadinya kalo ternyata yang terjadi sebaliknya?

Kita bakal membagikan sesuatu di sosmed berdasarkan apa yang orang lain suka, bukan kita. Kalaupun kitanya suka tapi orang lain enggak, kita bakal cenderung mikir dua kali buat membagikan hal itu: menganggap kalau kita nggak cukup dapat validasi.

Ini yang bahaya.

Makanya, judul tulisan ini adalah tantangan menjadi diri sendiri.

Bahkan, menjadi original dan autentik di zaman sekarang pun ada tantangannya. Nggak segampang dulu yang mana kita nggak terpapar informasi seabrek dan nggak bisa ketemu orang yang macem-macem secara instan.

Baru-baru ini, aku ngerasain banget masalah ini.

Gimana caranya aku bisa menjadi Anisa yang autentik? Yang kalo orang lihat aku di sosmed, itu sama kayak yang di dunia nyata?

Sampe sekarang, ini masih jadi pertanyaan besar buatku. Pertanyaan besar buat diri sendiri.

Selama aku main sosmed, khususnya di Twitter, aku bener-bener gampang terganggu sama apa yang dibagikan orang lain lewat twitnya. Apalagi, aku banyak ngelihat orang-orang hebat, orang-orang yang lebih senior dari pada aku, yang punya pengaruh besar terhadap warga Twitter.

Aku sering membanding-bandingkan diri aku sama mereka. Secara nggak langsung, aku jadi berpikir bahwa "jika aku seperti mereka, maka aku akan disukai". Akibatnya, apa yang aku bagikan di Twitter terasa nggak tulus dan bukan aku banget. Aku hanya ingin orang-orang juga mengakui keberadaanku di Twitter, bahkan harapannya, aku bisa menyamai mereka yang lebih senior atau berpengalaman dari aku.

Lalu, gimana cara validasinya? Gampangnya, kalo aku bisa dapet likes sebanyak apa yang mereka dapetin, berarti aku sudah cukup kompeten dan layak buat berselancar di Twitter.

Aku gampang banget terpicu sama jumlah likes yang aku terima di setiap twit-ku. Mereka yang lebih hebat dan senior daripada aku, kelihatannya gampang sekali dapet likes puluhan bahkan ratusan dalam waktu yang singkat. Sedangkan aku? Jangankan puluhan, kadang aja ga nentu bisa dapet sampe 5 likes atau nggak. Itulah yang kadang-kadang bikin aku nggak pede sama diri sendiri dan mulai berpikir dengan bagaimana cara orang lain berpikir.

No, no, no. Big no.

Aku tau, aku nggak bakal bisa jadi sama persis kayak mereka.

Aku adalah Anisa, anak usia 22 tahun yang masih belajar macem-macem hal. Aku beda sama mereka yang sudah berpengalaman di bidang itu selama bertahun-tahun. Aku juga masih nggak punya kredibilitas apapun yang mungkin bisa menyamai mereka. Jelas, aku sama mereka yang aku lihat di Twitter nggak apple-to-apple buat dibandingin.

Perlahan, aku mau belajar buat mengganti cara berpikirku yang sama sekali nggak sehat itu.

Mungkin, hal termudah yang bisa aku lakuin adalah dengan melihat apa kelebihan dan kemampuanku serta bertanya ke diri sendiri: apa hal yang bisa aku lakuin dan bermanfaat buat banyak orang?

Walaupun, ya, lagi-lagi, aku masih mencari-cari rumusan yang tepat soal ini. Aku BELUM bisa menentukan secara saklek kelebihan apa yang aku miliki. Penampilan? Oke, lah. Tapi ada hal yang jauh lebih penting dari itu, yaitu value atau nilai. Penting banget buat mikirin nilai apa yang bisa aku bagikan ke teman-temanku di Twitter dan di sosmedku lainnya.

Karena, jadi bening aja nggak bakal cukup kalau kita nggak punya value yang bisa kita bagikan ke orang lain.

Ini tantangan, sih. Beneran nggak gampang buat bisa jadi diri sendiri seutuhnya di zaman seakrang. Perlu pengalaman dan usaha lebih buat mencoba berbagai cara ternyaman dalam menjalani peran diri sendiri di dunia maya; dunia yang penuh tipu-tipu.

Selamat berjuang, Anisa.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan