Saya dan Indonesia

Keinginan untuk pergi ke luar negeri sudah ada sejak saya masih duduk di kelas 3 SMP. Tapi saat itu, tidak terpikirkan entah akan pergi ke negara mana. Saya hanya ingin untuk pergi ke luar negeri, dengan cara apa pun itu. Anehnya, saya sempat berpikir jika saya bisa menjadi seorang tukang cuci piring di negeri orang yang (ternyata) di bayar dengan upah yang besar. Ya, tentu, saya mau-mau saja. Hehe.

Disisi lain, dengan pikiran yang serius, saya harus mencari cara yang 'beneran'. Berhubung, saya orangnya suka ber-internet ria, saya pun googling. Entah mengapa, jari jemari ini langsung menuliskan sebuah kata kunci. Beasiswa. Ya, dengan beasiswa. Itu satu-satunya cara agar saya bisa mencapai negeri impian.

Sejak saat itu, nafsu itu semakin tak tertahankan. Saya jadi mulai senang berkhayal tentang bagaimana saya jika saya nantinya berhasil mendapatkan beasiswa itu, dan perlahan-lahan mimpi-mimpi indah itu saya rajut sedemikian rupa. Di setiap rajutannya, saya sertakan doa kepada Yang Maha, agar rajutan ini bisa menjadi nyata, dan tak sia-sia kelak.

Semakin kesini, semakin bertambahnya hari, semakin dewasanya diri, keinginan itu semakin membara. Rasanya, ingin segera saya mempercepat waktu di mana saya telah di wisuda, dan lulus dengan nilai yang baik (amiin), agar saya dengan segera bisa mewujudkan keinginan itu. Ya, bisa dibilang 'ngotot', karena saya memang begitu orangnya. Apa pun yang saya inginkan, harus bisa terwujud, bagaimanapun caranya. Sisanya, saya akan berikhtiar, menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Berkehendak.

Tapi...

Di tengah merajut rajutan, ada beberapa hal yang harus saya pikirkan ulang sebelum saya benar-benar membulatkan tekad untuk merantau ke negeri orang. Selain keluarga, teman-teman, dan masa depan, juga ada rasa nasionalisme yang tidak mampu ditoleransi. Saya sudah terlalu cinta dengan Indonesia, negara kelahiran saya. Setelahnya, banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari, dan untuk diri saya.

Berikut adalah beberapa hal yang membuat saya bangga menjadi 'Indonesian' :
  • Saya sudah terlanjur cinta dengan orang-orangnya, yang ramah. Saya bangga, karena orang Indonesia menjadi orang ter-ramah sedunia. Ada beberapa sumber yang mengatakan hal serupa, yang tentunya sumber-sumber tersebut sudah pernah menjajal negeri orang, dan mereka membuktikannya. (Saya, sih, ngikut saja. Hehe)
  • Kulit kami yang dipandang 'paling bagus' (menurut orang-orang barat), sampai-sampai penduduk lokal yang ber-ras campuran (Chinese-Indonesian) ada yang rela liburan ke Bali hanya untuk berjemur di pantai agar bisa mendapatkan warna kulit seperti penduduk asli Indonesia (kalo yang ini beneran ada, kakak teman saya sendiri)
  • Negara dengan rekor pulau terbanyak; dengan salah satu pulau terkecil di dunia (ada di Kalimantan kalo ngga salah); dengan ribuan ragam bahasa yang patut dibanggakan; serta budaya-budaya asli Indonesia yang masih ada sampai saat ini (semoga bisa bertahan sampai puluhan tahun kedepan, ya, aamiin).
  • Masyarakat lokal yang berani mendukung musik dan musisi asli Indonesia dengan gaya mereka yang nyentrik.
  • Iklim yang sangat-sangat ideal! (kalian harus bersyukur dengan point yang satu ini). Bagaimana tidak, segala tumbuhan mulai dari tumbuhan yang tidak memiliki manfaat sampai yang 'top to the toe'-nya punya segala manfaat, bisa tumbuh di Indonesia.
  • Biaya hidup yang relatif murah.
  • Dan lain sebagainya.
                                                                    ***

By the way anyway, dorongan untuk menulis entri kali ini dikarenakan point yang ke-4 di atas, maka di sini saya akan sedikit bercerita di mana ada hal yang membikin heran banyak pasang mata para pengguna jalan tadi malam, sekitar jam 11 saat perjalanan pulang saya menuju rumah.

Semua berawal ketika perjalanan pulang sudah mencapai sepertiga. Saat itu, keramaian sedang terjadi di depan gedung JX Convention Hall (J-Expo), Surabaya. Menarik perhatian, karena pada pukul 11 malam seperti ini biasanya JX sudah tutup dan jalanan sekitarnya sangat lah sepi. Orang-orang yang memadati JX tampak mengenakan pakaian hitam, dengan celana hitam maupun jeans. Mereka yang memakai celana jeans selutut biasanya menggunakan kaus kaki berwarna putih se betis bahkan selutut. Tak lupa, kakinya juga mereka alasi dengan sepatu berwarna hitam! Saya yang melewati JX saat itu terheran-heran sekaligus senang, karenanya jalanan jadi ramai (karena saya sangat benci dengan yang namanya 'sepi'). Para pengguna jalan curi-curi pandang, penasaran apa yang sedang terjadi di sana. Sambil jalan, saya sembari melihat-lihat bahu jalan. Beberapa saya menemui orang-orang yang diduga dari tempat yang tadi. Mereka juga menggunakan pakaian serba hitam dan rambut yang acak adul (namun bagi mereka mungkin tetap stylish).

Usut punya usut, ternyata, mereka ini adalah para fans dari band (bisa dibilang band ngga ya?) lokal asal Bali, Superman is Dead (akrabnya disapa SID--eS aI Di), dengan lagunya yang populer (di telinga saya) yaitu Sunset di Tanah Anarki. Kenapa saya bisa hafal begini, ya? haha, itu karena banyak juga orang-orang seperti mereka berada di lingkungan tempat tinggal saya. Jadi, SID ini ternyata telah menggelar konser di JX, yang membuat para fansnya membludak. sepertinya, fans nya tidak hanya berasal dari Surabaya saja, tapi yang dari tempat tinggal saya pun juga mampir ke JX. Haha.. setia banget, kan, orang Indonesia? :)

Tak hanya berhenti sampai di situ kekaguman saya akan orang Indonesia yang sangat setia, saya pun melaju untuk melanjutkan perjalanan. Tak terasa sudah dua per tiga perjalanan sampai di rumah. Ternyata, ada hal lagi yang sekali lagi membuat hati saya senang. Karena jarak dari JX ke rumah mereka (para fans SID) ini jauh, mereka rela berada dipinggir jalan, menanti-nanti lewatnya sebuah truk (yang biasanya dibuat angkut barang-barang besar) datang. Yap, penantian mereka tak sia-sia, truk itu pun dengan lapang hati berhenti di pinggiran jalan. Dengan sekuat tenaga yang mereka miliki, mereka satu per satu mulai bergelantungan, berusaha mencapai bak belakang truk. Dan akhirnya, truk itu melaju dengan kecepatan sedang (agak kaget juga setelah saya kira saya sudah melaju jauh dari truk, ternyata saya disalip!). Mana adakah orang sebaik, seramah orang Indonesia? rela menepikan kendaraannya (yang notabene bukan miliknya) hanya untuk membantu orang-orang yang bahkan belum dikenalnya?

*for SID-ers : Memang, kebanyakan orang memandang mereka adalah orang-orang brandal, orang liar, bahkan tidak sedikit orang pula yang menganggap mereka adalah orang yang ngga punya masa depan. Tapi, tunggu dulu. Mereka adalah orang yang setia, mau berpenampilan apa adanya hanya untuk mendukung idola mereka yang mempunyai kesamaan warga negara dengan mereka. Mereka bisa menganggap diri mereka adalah bagian 'lain' dari apa yang telah dilihat kebanyakan orang. Dan, mereka ini adalah orang Indonesia.

*for supir truk : Walaupun mereka inilah yang menyebabkan sebagian besar kekesalan kita meluap saat kita tengah berada di dalam perjalanan (mungkin karena supir truk yang suka kebut-kebutan, jalannya lambat, bahkan sering mogok di tengah jalan secara tiba-tiba yang alhasil bikin jalanan macet), namun ternyata dibalik itu semua ternyata mereka adalah orang yang murah hati mau menolong sesamanya, bahkan orang yang tidak dikenalnya. Dan, sekali lagi, mereka ini adalah orang Indonesia.

                                                                    ***

Yap, setelah di atas tadi, saya mulai berpikir-pikir lagi, sanggupkah saya apabila nanti saya harus nekat untuk meninggalkan negeri Pertiwi ini dan lebih memilih negara impian yang tentu tidak 100% nyata seperti yang ada dibayang, dan anganku? sanggupkah?

Setelah menilik-nilik lagi, ternyata Indonesia tidaklah terlalu buruk. Indonesia juga punya sisi baiknya. Namun, yang menjengkelkan justru dari masyarakat sesamanya yang jarang bisa menghargai. Andai saja Tuhan mendengar doa para pejuang negeri, tentu hal-hal yang menyebabkan negeri tercinta retak dan semakin retak ini tidak akan semakin retak dan semoga dapat diperbaiki ke 'retak'-kannya.

Saya sudah terlalu cinta Indonesia, saya sangat bersyukur telah diberikan Tuhan atas segala nikmat yang Ia berikan kepada saya dan kita semua untuk dapat menjajal bumi Pertiwi ini.

Kalau disuruh memilih antara hidup di negara Eropa dengan biaya gratis (plus gaji besar) dibandingkan berjuang keras di negeri sendiri, maka tentu saya akan memilih......... hidup di Eropa. Eits, tapi dengan tetap mengabdi kepada Indonesia, loh, ya! Ehehe.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan