Mempertanyakan Makna Toleransi

Kira-kira, kamu bisa tau ga, dari skala 1-10 nilai toleransimu berapa? Nilai sikap yang bisa tunjukin kalo lagi menghadapi perbedaan kita dengan orang lain. Apa yang kita percayai dengan apa yang orang lain percayai. Pernah, ngga, nanya ke orang lain, "eh, menurutmu, aku udah cukup toleransi belum?" Coba, deh, tanyain pertanyaan itu ke orang lain, kira-kira apa jawabannya?

Sebagai intermezzo, aku bekerja di lingkungan yang multiagama dan multikultural. Bos di kantorku sendiri orang Amerika asli, bule, penganut Kristen Protestan. Admin di kantor, orang Bali, lahir sebagai Hindu, namun semasa SMP, beliau akhirnya menganut agama Kristen Protestan. Marketing di kantor, orang Bali asli yang menganut agama Hindu dari dia lahir. Aku? Ngga perlu diterangin juga pasti udah tau.

Dari kecil, dari SD sampe SMK, aku selalu berada di 'zona nyaman'. Zona yang berisikan orang-orang dengan pemahaman yang sama. Mayoritas. Aku selalu bangga dan ngerasa ngga akan ada masalah, terutama tentang agama, karena guru-guru kami pun kebanyakan juga orang dari mayoritas. Sedikit sekali yang minoritas. Bahkan, dahulu sempat ada kejadian di mana guru kami yang seorang Kristen, mendeklarasikan dua syahadat di masjid sekolah, di hari Jumat. Seketika, berita itu langsung heboh. Jelas, berita itu ngebikin kami yang mayoritas merasa semakin diuntungkan. Apalagi, guru Kristen yang ada di sekolah, punya sifat nyentrik dan terkenal tegas. Beda banget sama guru agama kami yang cenderung santai dan murah senyum. Duh, makin-makin ngebikin kami bangga sama agama kami.

Bodoh sekali. Sangat bodoh. Baru di usia dewasa ini aku sadar, kalo guru dan mata pelajaran yang ia ajarkan ngga ada hubungannya sama sekali sama agama. Tapi, kenapa dulu dengan bodohnya aku punya pikiran kayak gitu? Sebenernya, kalo dipikir-pikir, aku agak beban juga ternyata nulis kata 'mayoritas' dan 'minoritas' ini. Seolah-olah, aku mengkotakkan orang ke dalam dua kelompok besar yang rasanya malah membuat perbedaan itu semakin nyata. Bagaimanapun, aku berusaha buat tetap nulis ini seobyektif mungkin. Kalaupun ada yang tersinggung, I can't control it.

Kembali lagi ke cerita. Selain dari kalangan guru, aku juga punya temen-temen yang mereka adalah 'minoritas'. Selama aku sekolah, aku ngerasa mereka yang berada di kelompok 'minoritas' udah terbiasa sama ritual-ritual, atau kegiatan keagamaan apapun yang biasa kami lakukan di sekolah. Mulai dari cara berdoa, hingga kegiatan-kegiatan besar lainnya yang dilakuin di sekolah, kayak pesantren kilat, dan doa bersama yang biasanya dilakuin sebelum UN. Masih inget banget, setiap sebelum UN, selalu ada acara renungan yang berusaha bikin kita mewek, terus diisi sama kegiatan baca doa bersama dari beberapa ayat Al-Qur'an, yang harapannya waktu UN nanti kita bisa ngerjain dengan maksimal dan hasil yang memuaskan.

Tapi, pernah nggak sih, kita mikir, kira-kira saat itu gimana, ya, perasaan mereka yang 'minoritas'? Apakah mereka bener-bener ngerasa fine-fine aja sama kegiatan kita? Atau sebenernya, jauh di lubuk hati mereka, mereka justru menanyakan hal yang berkebalikan? We never know. Yang jelas, kita sebagai mayoritas, selalu ngerasa lebih berkuasa, dan menganggap yang 'minoritas' pasti bakal toleran.

Dari sana, seharusnya kita bisa sadar, sih, kalo kita yang memaksa orang lain buat 'ngikut' apa yang kita percayai, secara tidak langsung. Kita memaksa, walaupun emang keliahatannya nggak sama sekali, untuk mempertontonkan acara besar yang 'mayoritas' lakukan di depan mereka yang 'minoritas'. Jauh di lubuk hati kita, ada keinginan tentang tersampaikannya agama kita ke orang yang beda agama sama kita. Kalopun hal itu memungkinkan, lagi-lagi, siapa yang diuntungkan?

Semenjak aku masuk kuliah, keadaannya berbeda 180 derajat. Sekarang, aku harus pasrah buat menerima statusku yang sekarang jadi minoritas di sini. Di kelilingi sama temen-temen yang menganut agama Hindu. Agama yang menurut pengamatanku pribadi, banyak banget upacara keagamaannya. Yang kadang sampe nutup jalan. Aku ngga mau bohong, tapi kadang-kadang penutupan jalan itu ngeganggu banget. Ngga main-main, jalur yang di ambil juga kadang jalur-jalur dengan akses yang penting. Tapi, itu juga yang akhirnya ngebikin aku sadar, kalo di tempat asalku, juga kadang-kadang gitu, kan? Kalo lagi ada nikahan, misalnya. Bukan acara agama, tapi sampe bikin macet jalanan. Bahkan, waktu kita ada hari raya besar, kayak Lebaran, kita bisa ambil sebagian jalan di jalan raya buat kita jadiin tempat bersujud. Sadar diri kuncinya. Sebelum ngeluh tentang agama lain, sadar. Sebelum maksa orang lain buat toleransi, tanya ke diri sendiri, kitanya udah cukup toleransi, belum? Atau selama ini ternyata kita yang 'maksa' orang lain buat tunduk sama kita?

Ada banyak banget kejadian yang disebabkan atas nama 'toleransi', 'agama', apalagi kalo udah menyangkut urusannya sama politik. Alot. Paling menyedihkan kalo pada akhirnya sebuah citra agama tercoreng hanya karena seorang oknum yang bertindak seenaknya atas nama agama, memaksakan kepercayaan mereka untuk orang lain. Sebagai negara multikultural, perbedaan semacam ini yang seharusnya bisa kita rayain, kita banggakan, tapi kenapa justru kadang kala kita sesali dan hakimi? Kita jadi susah ngerti, susah ngeliat hal yang beda sama kita.

Mencapai kedamaian, ketentraman, itu gampang. Segampang paham kalo kita ga bisa mengontrol orang lain buat bisa percaya sama apa yang kita percaya, dan menerima kenyataan kalo orang lain punya kebebasan buat memilih. Dan, membahas sebuah perbedaan itu ngga akan ada habisnya.

Pengalamanku jadi seorang minoritas di sini, bener-bener menjadi pengalaman berharga yang mungkin ga bakal bisa aku rasain kalo aku masih tinggal di 'zona nyaman'ku dulu. Tentang suara dari dalam yang ingin memberontak keadaan sekitar hanya karena kepercayaan kita yang berbeda. Tentang kita yang ingin suara kita didengar oleh orang lain. Tentang suara yang tertahan di dalam hati dan minim aksi. Tentang suara yang menuntuk kita untuk melakukan sesuatu, namun terhalang oleh norma dan judgement dari orang sekitar. Suara minoritas yang aku pikir, ngga akan pernah kita tahu kalo kita sendiri ngga pernah ngerasain rasanya jadi minoritas.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan