Paradoks Salomo: Bagaimana Perbedaan Sudut Pandang Memengaruhi Kebijaksanaan

Sebagai pendahuluan, mari kita lihat dua buah skenario di bawah untuk membantu kita berimajinasi.

Skenario pertama. Kamu punya seorang teman, dan ia bercerita tentang lingkungan kerjanya yang toxic. Ia bercerita tentang sifat rekan kerjanya yang senang bergosip, yang membuat suasana di kantor menjadi tidak nyaman. Hal itu membuatnya merasa muak, sehingga ia berniat untuk berhenti dari pekerjaan tersebut.

Namun, kamu mungkin memiliki pendapat lain. Kamu berpikir bahwa cara terbaiknya adalah dengan mengkomunikasikan masalah itu kepada atasan dan memintanya untuk memberikan peringatan. Kamu menilai, bahwa ada beberapa alternatif yang bisa membantunya keluar dari masalah, alih-alih keputusan untuk berhenti bekerja. Kamu berharap, beberapa nasihat yang kamu berikan dapat meringankan beban yang dialaminya. Kamu juga merasa bahwa kamu telah memberikan upaya terbaikmu sebagai teman terdekatnya.


Sekarang, coba kita balik situasinya.


Skenario kedua. Baru-baru ini, ternyata kamu baru sadar, bahwa rekan kerjamu yang baru 2 bulan lalu bekerja di kantormu memiliki sifat toxic. Ia senang membicarakan orang lain, menggunjing, dan kamu merasa sangat tidak nyaman. Kamu memang dikenal sebagai orang bijak yang mampu membantu menyelesaikan masalah orang lain melalui nasihat-nasihat yang kamu berikan. Apalagi, saat itu, atasanmu pernah mempertimbangkan keputusannya untuk menerima rekan kerjamu yang baru ini kepadamu karena keahlianmu tersebut. Mungkin, sekarang kamu menyesalinya karena di sana terdapat kontribusimu dalam keputusan atasanmu memperkerjakan rekan kerjamu yang ternyata toxic.

Singkatnya, kamu berada pada situasi yang sama dengan apa yang temanmu alami.

Lambat laun, masalah ini semakin membuatmu tak nyaman berlama-lama di kantor, dan kamu berpikir untuk berhenti dari tempatmu bekerja. Seketika, kamu teringat kembali akan nasihat-nasihat yang pernah kamu sampaikan kepada temanmu yang mengalami hal serupa. Namun bagimu, nasihat itu terlalu sulit untuk diterapkan pada situasimu saat ini. Ada beberapa faktor lainnya yang membuatmu berpikir untuk mengomunikasikan masalah ini kepada atasan bukanlah opsi terbaik. Mungkin, kamu takut akan dimintai pertanggungjawaban atas nasihat yang pernah kamu berikan kepada atasanmu. Kamu ragu, dan akhirnya kamu membiarkan dirimu larut ke dalam masalah ini, terjebak pada perasaan bersalah sekaligus tidak nyaman tanpa bisa menerapkan satupun nasihat yang dulunya pernah kamu sampaikan kepada temanmu. Atau bisa jadi, kamu malah mengambil sebuah keputusan berisiko yang sama sekali jauh dari kata bijak, berlawanan dari apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu.


Subyektifitas terhadap sebuah masalah

Photo by Anika Huizinga on Unsplash

Kedua skenario sebelumnya menggambarkan keadaan di mana kamu merasa lebih bijak saat menyampaikan nasihat kepada orang lain (skenario pertama), namun justru merasa kesulitan membantu diri sendiri keluar dari masalah serupa (skenario kedua).

Di dunia psikologi, fenomena ini dikenal sebagai Paradoks Salomo. Atau, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Solomon's Paradox.

Paradoks Salomo diperkenalkan oleh seorang ilmuwan psikologi bernama Igor Grossman. Nama Paradoks Salomo diambil dari kisah Raja Salomo yang terkenal bijak karena nasihat-nasihat yang ia berikan kepada orang lain, namun justru berulang kali membuat keputusan yang buruk untuk kehidupan pribadinya sebagai seorang raja. Hingga perlahan, keputusan-keputusan buruk itu membawa kerajaan Israel yang ia pimpin berada di ambang kehancuran.

Ada penjelasan tepat mengapa Paradoks Salomo bisa terjadi.

Pada skenario pertama, kamu berperan sebagai subyek ketiga. Subyek pertama adalah temanmu yang meminta saran kepadamu dan subyek kedua adalah rekan kerja dari temanmu yang toxic. Karena posisimu yang berada di luar masalah yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak, membuatmu cenderung berfokus pada perasaan yang dialami oleh temanmu. Kamu berpikir, "mengapa dia (temanmu) merasa seperti ini?". Dari pertanyaan itu, akhirnya kamu memberikan nasihat-nasihat bijak yang kamu anggap bisa membantu menyelesaikan masalah atau setidaknya mengurangi beban pada perasaannya.

Pada skenario kedua, kamu adalah subyek pertama. Kamu adalah orang yang memiliki, dan sedang mengalami masalah itu. Pada situasi ini, kamu cenderung tenggelam ke dalam perasaan dan pengalaman yang sedang kamu alami. Secara tidak langsung, kamu menanyakan, "mengapa aku merasa seperti ini? Apa pikiran dan perasaanku tentang masalah ini?" terhadap diri sendiri. Orientasi fokusmu menjadi berbeda dari skenario pertama. Kini, kamu lebih berfokus pada pikiran dan perasaanmu sendiri, sehingga membuatmu merasa kesulitan menemukan solusi dan bahkan dapat menjauhkanmu dari sikap pengambilan keputusan yang bijak dan rasional.

Analisis ini menghasilkan sebuah gambaran di mana posisi kita pada sebuah masalah.

Pada skenario pertama, kita memposisikan diri berada di luar masalah (self-distance).

Sedangkan pada skenario ke dua, kita mengalami masalah (self-immerse).

Adanya perbedaan jarak psikologis inilah yang menjadi penanda utama Paradoks Salomo atau tidak. Bahkan, menurut penelitian Igor Grossmann dan Ethan Kross sendiri, Paradoks Salomo ini tidak terikat oleh usia dan hal ini menjadi pernyataan untuk melawan pepatah barat "semakin tua, semakin bijak" (with age comes wisdom).


Lalu, bagaimana cara menyikapinya?

Temuan di atas sebenarnya sekaligus memberikan jawaban dari pertanyaan tentang cara terbaik yang bisa kita lakukan dalam menyikapi sebuah masalah; bagaimana menjadi bijak untuk diri sendiri dan orang lain.

Yaitu, dengan mengaplikasikan self-distancing.

Selalu pisahkan diri kita dari masalah yang sedang kita hadapi. Gunakan perspektif orang ketiga.

Jika kita tidak memiliki seorang penasihat atau mentor yang bisa membantu kita keluar dari masalah, maka sudah saatnya kita perlu berlatih praktik self-distancing.

Caranya, cukup dengan membayangkan seolah-olah kita memiliki seorang mentor atau penasihat yang kita percayai akan kebijakannya, dan mintalah nasihat darinya. Cara ini membuat kita lebih berfokus pada fakta apa yang bisa kita dapatkan sehingga hal ini membantu kita untuk berpikir lebih obyektif, dibandingkan dengan berfokus pada emosi yang kita rasakan yang membuat kita berpikir secara subyektif. Pada akhirnya, kita akan dapat menghasilkan sebuah keputusan yang lebih bijak dan rasional, sesuai dengan masalah yang kita hadapi, bahkan jika kita tidak memiliki orang lain untuk dimintai pendapat atau masukan.


Jadi, cobalah untuk mulai melatih imajinasimu.

Suatu ketika sedang merasakan kecewa dan gagal, bayangkan kamu sedang duduk dihadapan seorang mentor atau pembimbing. Secara naluriah, 'ia' akan membantumu berpikir lebih rasional dan menemukan solusi, alih-alih terbenam pada perasaan kecewa dan tak berdaya.

***

Referensi:

[1] Solomon's Paradox: How to Unleash the Wisdom Within

[2] How Solomon's Paradox Explains Why We All Need Good Coaches and Advisors

[3] Exploring Solomon's Paradox: Self-Distancing Eliminates the Self-Other Asymmetry in Wise Reasoning About Close Relationships in Younger and Older Adults

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan