Semua Orang Juga Lelah

Semua orang juga lelah. Ngga cuma kamu. Tapi juga temen kamu, tetangga kamu, atau bahkan tukang cat rumahmu. Mereka sama-sama punya masalah yang harus mereka hadapi. Sama seperti kamu. Kamu capek belajar buat ujian, tapi di luar sana ada yang capek bikin soal ujian. Kamu capek kerja, tapi ada juga yang capek ke sana kemari cuma buat naruh lamaran kerja. Kamu capek macet-macetan di jalan, di sisi lain ada yang capek berpanas-panasan sambil mikul dagangan.

Kita capek, orang lain pun juga capek. Kita ngga pernah tau apa yang lagi mereka pikirin. Kita ngga pernah tau motivasi apa yang mereka miliki untuk sampai pada hari ini. Kita ngga pernah tau beban apa yang mereka tanggung di pundak mereka. Kita juga ngga pernah tau seberapa dalam pengorbanan yang rela mereka lakukan hanya agar bisa tetap bertahan hidup. Kita bahkan ngga pernah tau, apa yang orang lain akan hadapi sesaat ketika hari ini telah berakhir.

Semua orang juga lelah, dengan kerasnya kehidupan. Semua orang juga lelah, terus-terusan bergerak di dalam dunia yang ngga kalah lincah. Semua orang lelah ketika dituntut bisa tetap bisa berdiri dengan stabil, ketika tanah yang kita pijak begitu rapuh. Semua orang lelah tentang ketidakpastian hidup, saat kita sendiri pun ngga tahu kapan saatnya kita akan jatuh. Yang kita tahu, kita harus siap dengan seribu solusi, apapun yang terjadi.

Kalau aku bisa menggambarkannya, mungkin ibarat kita sudah terlanjur terjebak di atas balok-balok kayu vertikal, yang semula permukaannya tertutup sama gundukan pasir. Antara malang atau beruntung, kita ngga sengaja menginjak area 'aman', bisa berdiri di balok kayu berukuran 1 meter persegi di saat longsoran pasir datang dan mengikis pasir-pasir di sekitar balok kayu. Kita akhirnya ngga bisa berbuat banyak. Kita cuma bisa nunggu pesawat dateng buat menyelamatkan kita. Sampai waktu itu, kita hanya bisa bertahan sementara badai dan hujan datangnya ngga bisa diprediksi. Kita sama-sama ngga bisa minta bantuan sama siapapun. Karena mungkin, orang yang awalnya berangkat bareng sama kita, punya tujuan yang berbeda. Mereka bergerak ke arah yang berbeda, dan juga menghadapi masalah yang berbeda.

Perlahan, ujung-ujung kayu tempat kita berpijak mulai lapuk dimakan usia. Rayap-rayap yang menggerogoti juga sepertinya nggak suka ngelihat kita menginjakkan kaki di atas makanan mereka. Selalu ada cara bagi si rayap untuk 'membunuh' kita. Siapa yang sangka, rayap yang ukurannya nggak lebih besar dari upil kita pun, bisa membunuh kita dengan menghancurkan pijakan kita dari dalam. Tapi, entah kita sadari atau engga, kita enggan mengakui bahwa di dalam kayu yang kita pijak terdapat rayap yang menggerogoti. Kita enggan mengakui bahwa kayu yang kita pijaki rapuh. Karena, mungkin kita berpikir; gimana kalo orang lain tahu bahwa aku telah salah pilih langkah? Akhirnya, ngga ada pilihan lain. Kita harus bisa beresin rayap-rayap di bawah kayu kita, atau hanya menunggu waktu saja kita akan jatuh ke dalam longsoran pasir sebelum berhasil mendapatkan pertolongan dari pesawat yang juga kita ngga tau datengnya kapan.

Hidup itu, rasanya seperti kita dilepaskan di atas padang pasir, tanpa bekal apapun. Kita dituntut cari apa-apa sendiri, dengan risiko yang ga bisa diprediksi. Bisa aja tiba-tiba pasir itu longsor, dan segera saat itu kita harus punya pijakan biar bisa tetap bertahan. Dan, tanpa kita ketahui, orang lain yang pernah kita jumpai, juga sedang berjuang mempertahankan pijakan-pijakan mereka. Kita boleh berada di satu padang pasir yang sama, tapi medannya juga boleh berbeda. Mungkin 500 meter dari tempat kita mengalami longsor, ada area yang mengalami longsoran pasir bersamaan dengan datangnya badai. Akibatnya, orang-orang yang terjebak di sana, ngga bisa 100 persen berdiri dengan tegak, sekaligus ngga bisa bergerak bebas. Pilihannya adalah jatuh atau terhempas badai.

Mereka sedang berjuang 'membersihkan' masalah-masalah yang mereka punya. Mereka sedang berjuang agar bisa tetap berdiri dengan tegap di atas 'balok' yang rapuh sembari berusaha menggapai harapan. Mereka akan berjuang hingga tiba saatnya seluruh hidup dan perjuangan kita akan lenyap dari bumi ini. Mati. Entah sebelum kita berhasil mecapai harapan atau tidak.

Pada akhirnya, 'balok kayu' yang semula kita percayai mampu menjadi pijakan kita, juga menyerah. Menghempaskan kita untuk kembali kepada Yang Punya.

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan