Memilih dengan bijak

Saat dihadapkan dengan banyaknya pilihan, tentu bukan hal yang mudah bagi kita untuk memutuskan dan memilih salah satu diantaranya. Apalagi, di zaman ini yang mana dunia sangat rentan dengan perubahan. Ada ratusan pilihan di setiap hal yang kita temui. Dan, kemampuan dalam memilih secara bijak rasanya menjadi salah satu kunci agar kita terhindar dari distraksi yang merugikan sehingga kita bisa menjalani hidup yang sesuai dengan kebutuhan dasar kita sebagai manusia.

Pernah dengar istilah FOMO? FOMO (Fear of Missing Out) adalah keadaan di mana seseorang mengalami perasaan takut atau cemas ketika ia tidak bisa mengikuti kejadian yang menurutnya menarik dan menyenangkan yang sedang berlangsung. Aku pribadi tentu pernah mengalaminya. Saat mengalami hal itu, sangat mudah bagi aku untuk jatuh ke dalam perasaan sedih dan gelisah.

Tidak jarang pula, akibat dari perasaan FOMO itu tadi, aku menjadi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan secara bijak. Keputusan dalam memilih sesuatu hanya didasari oleh keinginan semata. Kalau bisa memilih dua, kenapa harus satu? Hingga akhirnya, kebanyakan dari pilihan-pilihan itu hanya berujung pada penderitaan dan penyesalan. Aku juga merasa telah menghabiskan banyak waktuku hanya untuk memilih hal yang sia-sia. Aku harus sadar, jika skenario ini berlangsung secara terus menerus, selain dapat menumbuhkan perilaku impulsif juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental. Stres, cemas berlebihan, menyalahkan diri sendiri, selalu merasa kurang, dan sebagainya.

Lalu, bagaimana caranya agar aku bisa menentukan sebuah pilihan dengan bijak?

Pertama, aku harus dapat membuat garis pemisah yang jelas antara kebutuhan dan keinginan. Dengan membuat batas yang jelas antara keduanya, ini sangat membantuku dalam memilih barang dengan lebih mudah. Menurutku, kebijakan seseorang dalam memilih dapat dilihat seberapa tegas ia memberi batas antara kebutuhan dan keinginan.

Kedua, aku harus memperhatikan value atau nilai barang tersebut. Apakah 'nilai' yang tertera pada label produk sebanding dengan manfaat yang bisa aku dapatkan dari barang tersebut? Kalau tidak, maka sudah seharusnya aku harus berpikir dua kali untuk membeli barang tersebut. Selain dari kebermanfaatannya, aku juga harus memperhatikan aspek lain, seperti kemudahan dalam perawatan dan penggunaannya.

Ketiga, aku harus sadar bahwa barang dengan harga yang mahal bukan berarti ia yang terbaik, begitu juga sebaliknya. Aku percaya, terkadang ada trik-trik pemasaran yang digunakan agar seseorang tersugesti untuk membeli suatu barang yang jika dilihat menggunakan kesadaran penuh, tidak seharusnya barang itu memiliki harga setinggi itu. Dalam hal ini, aku harus menggunakan pengamatan dan kejelian dalam melihat value produk tersebut. Pada poin ini, sebisa mungkin aku memperoleh manfaat yang maksimal namun dengan harga yang seminimal mungkin.

Keempat, less is more. Lebih sedikit, lebih baik. Walaupun konsep ini pada awalnya diperkenalkan oleh Ludwig Mies van der Rohe di dalam dunia arsitektur, tapi nyatanya konsep ini juga sesuai untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Lebih sedikit barang artinya lebih sedikit pula waktu yang digunakan untuk merawat barang-barang itu. Sehingga, ada lebih banyak waktu yang bisa digunakan untuk diri sendiri. Entah untuk merawat diri, melakukan hobi, aktivitas yang disuka, dan lain sebagainya. Bahkan, menurut filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, orang yang memiliki 2/3 waktu atau 16 jam dalam sehari, maka orang tersebut termasuk orang yang bebas. Dan aku ingin menjadi salah satunya.

Keempat cara tadi tentunya masih belum sempurna aku jalankan. Terkadang ada banyak rintangan yang berada di luar kendaliku dalam menerapkan cara-cara ini. Namun, setidaknya ketika aku memiliki kesadaran penuh dan cukup waktu sebelum menentukan sebuah pilihan, cara-cara ini sangat membantuku agar terhindar dari tindakan impulsif sehingga aku bisa menentukan pilihan dengan lebih bijak. 

Popular Posts

Thank you, 2021

Menyusuri Lorong Kehidupan: Pencarian Terang di Tengah Kegelapan

Menerima kegagalan